KOTA, SIDOARJONEWS.id — Kasus pelecehan terhadap anak sedang mencuat di Kabupaten Sidoarjo dalam beberapa minggu terakhir. Korbannya mulai dari siswa anak-anak dibawah umur.
Padahal Sidoarjo menyandang predikat kabupaten layak anak kategori Nindya. Namun, fenomena tingginya kasus kekerasan anak dan perempuan mengundang rasa prihatin.
Komisi D DPRD Sidoarjo menyatakan, Kabupaten Sidoarjo sudah darurat kekerasan terhadap anak. “Kami mengajak semua pihak introspeksi bersama. Karena anak-anak adalah investasi kita di masa depan,” kata Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo, Abdillah Nasih, Senin (1/7/2024).
Menurut Cak Nasih, sapaan karibnya, angka kekerasan terhadap anak terus meningkat. Di tahun 2023, lebih dari 200 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan terjadi.
Bentuk kekerasan pun beragam, mulai perundungan atau bullying, penganiayaan, pencabulan, pelecehan seksual, hingga perkosaan. Yang cukup mengagetkan kekerasan anak juga terjadi di lingkungan sekolah.
Lingkungan sekolah harusnya menjadi tempat yang paling aman untuk anak-anak. Bisa belajar dan menimba ilmu dengan baik.
Komisi D DPRD Sidoarjo berharap ke depan, anak-anak di Kabupaten Sidoarjo terlindungi dan terjamin. Baik psikis, fisik, maupun masa depannya.
“Jadi, ke depan, bagaimana mengampanyekan bahwa anakku adalah anakmu. Sehingga, minimal sama-sama saling menjaga,”ungkap legislator PKB Sidoarjo itu.
Sementara itu, Sekretaris Komisi D DPRD Sidoarjo, Bangun Winarso, menambahkan, selama 2 tahun terakhir, tingkat kekerasan terhadap anak di Sidoarjo memang meningkat tajam.
Fenomena ini muncul dikala keterbukaan sudah ada di masyarakat. “Masyarakat semakin berani menyampaikan atau melaporkan jika terjadi kekerasan di lingkungannya,’’ kata Bangun
Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan?
Bangun Winarso menyebutkan, ada dua hal yang perlu dikerjakan bersama. Pertama, menajamkan analisis dan kajian tentang mengapa fenomena ini terjadi terus-terusan. Kemudian, fenomena itu didalami dan ditindaklanjuti.
Caranya, bersama-sama menjalin komunikasi dengan semua stakeholders. Misalnya, mengapa kekerasan terhadap anak justru terjadi di dunia pendidikan. Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman untuk anak.
Kedua, masyarakat kita masih sering lengah pada budaya patriarkis. Seakan-akan lelaki itu masih lebih menguasai. Hal itu mendorong kerawanan terjadinya kekerasan. Seperti, pelecehan seksual terhadap anak. Itu akibat pengaruh budaya.
“Mudah-mudahan kitab isa segera menyikapinya,. Yang lebih penting adalah tindakan pencegahan. Jangan sampai terjadi lagi kekerasan terhadap anak,” pungkasnya. (Ipung)