KOTA, SIDOARJONEWS.id —Lontong balap, salah satu kuliner khas yang terkenal di Surabaya, sebenarnya memiliki asal-usul yang lebih dalam dan lebih dekat dengan Sidoarjo, bukan Wonokromo seperti yang banyak diyakini orang. Menurut pegiat sejarah dan ketua Komunitas Sidoarjo Masa Kuno, dr. Sudi Harjanto, nama asli dari makanan ini adalah “Lontong Cukulan” dan perjalanan sejarahnya sangat menarik untuk diselami.
Lontong balap pertama kali muncul pada awal abad ke-20, sekitar tahun 1900-an. Dalam keterangannya, dr. Sudi menjelaskan, bahwa asal-usul nama “Lontong Cukulan” berasal dari kata “cukulan”, yang merujuk pada kecambah kacang hijau yang menjadi salah satu bahan utama dalam hidangan tersebut.
“Pada masa itu, kacang hijau banyak dibudidayakan di Sidoarjo dan penjual lontong balap membuat sendiri taoge dengan cara merendam kacang hijau. Mereka memilih kacang hijau karena mudah didapat dan cepat tumbuh di udara Sidoarjo yang hangat,” ujar Dokter umum yang hobby menggeluti sejarah tersebut.
Lontong balap sebenarnya adalah hasil dari asimilasi budaya Tionghoa dengan makanan lokal. Bumbu pasta khas Sidoarjo, seperti petis kepala dan kulit udang, menjadi ciri khas yang membedakan lontong balap dengan soto-sotoan lainnya.
Namun, seperti halnya angkringan yang sering dianggap asli dari Yogyakarta, lontong balap juga sering kali dikaitkan dengan Wonokromo (Surabaya) karena tempat ini menjadi pusat popularitasnya.
Dari informasi yang berhasil diperoleh, para pedagang lontong balap yang sudah turun-temurun tersebut banyak berasal dari kawasan Sepanjang atau yang kini menjadi Kecamatan Taman, Sidoarjo, mengklaim bahwa makanan ini berasal dari daerah mereka.
“Sebenarnya lontong balap ini pertama kali dijajakan di Sepanjang, Sidoarjo, dan para penjualnya biasa berjalan kaki melalui rel kereta api menuju Wonokromo dengan membawa pikulan yang berisi lontong dan lauk. Ada yang bilang mereka adu cepat, seperti balapan, karena beratnya pikulan itu,” paparnya.
Pria yang juga pecinta motor skuter tersebut juga menambahkan, bahwa istilah “lontong balap” konon berasal dari kebiasaan pedagang yang berlari agar cepat sampai ke tujuan. Lontong balap, yang sejak awal ditujukan untuk kalangan bawah, menjadi salah satu makanan murah meriah yang banyak digemari masyarakat.
Selain itu, keberadaan sate kerang dalam sajian lontong balap juga tak lepas dari sejarah. Sate kerang dulunya mudah didapatkan di sekitar Sidoarjo, namun kini sudah jarang ditemukan.
“Waktu itu, sate kerang menjadi pilihan karena harganya yang terjangkau dan mudah ditemukan. Itulah mengapa kerang menjadi salah satu bahan utama dalam lontong balap,” tambah Dr. Sudi.
Lontong balap juga dikenal dengan variasinya yang kaya. Di dalam semangkuk lontong balap, terdapat lontong, taoge, lentho yang dihancurkan, tahu, dan kadang juga ditambah dengan sate kerang. Semua bahan ini disiram dengan kuah yang kental dan gurih.
Semua elemen dalam lontong balap tersebut sebenarnya bisa dikategorikan sebagai soto. Soto ini berasal dari budaya Tionghoa, yang kemudian berkembang dengan ciri khas lokal.
Selain lontong balap, ada pula kuliner lainnya yang menjadi turunan dari soto, seperti tahu campur, lontong mie, dan lontong kupang. Kesemuanya memiliki ciri khas yang serupa dalam penyajian, yaitu menggunakan bahan-bahan yang terjangkau dan mudah didapat, sehingga cocok untuk kalangan bawah.
Dr. Sudi menekankan bahwa sejarah makanan ini sangat terkait dengan kebutuhan ekonomi pada masa itu.
“Lontong balap pada awalnya adalah makanan yang sangat praktis dan murah. Bahan-bahan yang digunakan mudah didapat dan tidak memerlukan biaya yang tinggi, sehingga bisa dinikmati oleh masyarakat bawah,” ungkapnya.
Kini, lontong balap menjadi makanan yang sangat populer di Surabaya, bahkan dikenal di luar kota. Namun, sejarah panjang yang terkandung dalam hidangan ini seringkali terlupakan.
Oleh karena itu, dr. Sudi dan komunitasnya, berusaha untuk melestarikan pengetahuan tentang sejarah kuliner lokal. Tujuannya, agar generasi mendatang bisa menghargai warisan budaya yang telah ada sejak lebih dari seratus tahun lalu.
Dengan semua cerita sejarah tersebut, kita semakin memahami bahwa lontong balap bukan hanya sekadar hidangan tetapi juga bagian penting dari perjalanan panjang budaya kuliner di Sidoarjo. Makanan ini menjadi saksi bisu dari kehidupan masyarakat pada masa lampau yang penuh dengan kreativitas dan adaptasi.