Kegagalan adalah sukses tertunda. Kalimatnya mudah diucapkan. Tapi sulit diamini. Sebab, bukan hal mudah menerima kegagalan lantas move on. Apalagi setelah pengorbanan besar yang dilakukan. Namun, siklus hidup seperti itu berhasil dilalui M.F. Hazim, penulis asal Tanggulangin, Sidoarjo.
Hazim pernah merasakan masa sulit saat memutuskan mundur dari kuliah ketika sudah semester 7. Penyebabnya, dia merasa jurusan yang diambilnya, tidak sesuai panggilan jiwanya. Padahal, sejengkal lagi, dia bisa meraih gelar sarjana.
Mundur dari bangku kuliahnya membuatnya harus punya telinga tebal. Dia kenyang mendapat cibiran dari teman-teman dan orang-orang terdekatnya. Namun, dia bertekad membuktikan bila keputusannya tidak keliru. Dia lantas belajar menulis.
“Selama 2 tahun setelah memutuskan untuk berhenti kuliah, saya belajar menulis secara otodidak. Sejak kecil saya suka membaca, jadi ada sedikit modal di bidang sastra,” ujar alumnus SMK Negeri 1 Sidoarjo ini.
Perjalanan Hazim menjadi penulis tidak seperti merebus mie instan yang cepat jadi. Ia berkali-kali ia mengikuti ajang lomba menulis puisi dan cerita pendek dengan iming-iming hadiah bahwa karyanya akan dibukukan dalam bentuk buku antologi.
Pengalaman mengikuti ajang tersebut membuatnya mengenal banyak penulis. Dia juga jadi tahu penerbit indie dan penerbit mayor beserta sistem kerjanya. Merasa cukup punya pengalaman menulis di buku-buku antologi, ia mencoba menulis novelnya sendiri.
Namun, karyanya tidak langsung diterima oleh penerbit mayor. Puluhan kali ia tawarkan karyanya pada penerbit-penerbit mayor, tidak ada satupun yang mau menerima. Hingga di tahun 2017, penerbit Alvabet mau menerbitkan novel berjudul introver miliknya. Sebuah novel yang terinspirasi dari perjalanan hidupnya sendiri sebagai seorang introvert.
“Lewat novel ini, saya ingin mendobrak stigma masyarakat yang menganggap hanya orang berkepribadian ekstrovert yang mampu meraih puncak dunia. Padahal, beberapa pemimpin dunia adalah orang yang berkepribadian introvert,” ucapnya.
Berhasil menembus major label membuat arek Sidoarjo kelahiran 1993 ini paham. Bahwa, tren persaingan di dunia sastra kini sangat ketat. Selain banyak bermunculan penulis-penulis muda kreatif, ada anomali tren di masyarakat.
“Kalau dulu bila kamu ingin terkenal, maka bukumu harus laris. Tapi sekarang, kalau kamu ingin bukumu laris, maka kamu harus terkenal. Tidak jarang saat saya mengajukan naskah ke penerbit, ditanya seberapa banyak follower instagram saya,” ujarnya.
Memang, faktor ‘famous’ sang penulis akan membuat buku laku di pasaran sehingga bisnis penerbitan berjalan. Namun, dunia sastra disebutnya akan mengalami penurunan kualitas bila faktor kualitas isi buku dikesampingkan karena faktor famousnya sang penulis.
“Saya khawatir buku yang dibaca masyarakat kualitasnya menurun. Berbeda jauh saat dibandingkan dengan buku-buku angkatan 2000-an,” ujar Hazim. (affendra)