CANDI, SIDOARJONEWS.id – Pernikahan dalam budaya Jawa tidak hanya menjadi acara sakral tetapi juga sarat dengan adat dan tradisi yang kaya akan makna. Salah satu tradisi pernikahan yang pernah menjadi salah satu ritus yang populer di Desa Sepande, Kecamatan Candi, Sidoarjo adalah ritus “Manten Waligoro”.
“Manten Waligoro” adalah sebuah prosesi unik yang perlu diketahui masyarakat Sidoarjo di era modern ini. Adat pernikahan ini tidak hanya melibatkan serangkaian ritual tetapi juga sebuah cerita sejarah yang menarik untuk diungkap.
“Manten Waligoro” berasal dari dua kata, yakni “Wali” yang berarti orang tua atau wali dalam pernikahan, dan “Goro” yang dalam bahasa Jawa berarti bohong atau tidak asli. Menurut pegiat sejarah Sidoarjo, dr. Sudi Harjanto, manten Waligoro berawal dari sebuah kisah tragis.
“Konon, dahulu ada seorang perempuan yang hendak menikah, namun dia tidak memiliki wali. Akhirnya, seorang lelaki yang bukan keluarga dekat diminta untuk menjadi wali dengan syarat tertentu,” ujar dr. Sudi.
Dalam tradisi ini, pernikahan dilaksanakan dengan prosesi yang cukup unik yakni dengan menyajikan dua ekor ayam bakar ingkung sebagai simbol dari kedua calon pengantin. Ayam tersebut diibaratkan sebagai pengantin pria dan wanita.

Sajian ini biasanya disajikan pada malam hari, bersamaan dengan acara tasyakuran atau walimah yang diadakan sebelum akad nikah.
Ritus “Manten Waligoro” ini tidak hanya berlangsung di Desa Sepande, Kecamtan Candi, Sidoarjo tetapi juga ditemukan di beberapa daerah lain seperti Desa Petisbenem, Duduk Sampyan di Gresik, dan Dukuh Gumining, Desa Tambak Rejo.
Setiap daerah memiliki sedikit perbedaan dalam cara melaksanakan adat ini. Namun, inti dari tradisi tersebut tetap sama yakni menyatukan dua insan dalam ikatan pernikahan dengan cara yang sarat makna.
Salah satu bagian penting dari prosesi ini adalah sajian yang disebut Waligoro, yang terdiri dari bekakak ayam, tumpeng, urap-urap, dan kupat. Semua hidangan ini disajikan bersama dengan lampu templek sebagai simbol penerangan dalam hidup berkeluarga.
“Saat malam tasyakuran, seluruh warga setempat berkumpul untuk makan bersama, sebagai bentuk rasa syukur atas pernikahan yang akan berlangsung,” jelas dr. Sudi.
Selain itu, jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka dipercaya keluarga pengantin akan mengalami nasib buruk. Meskipun demikian, dr. Sudi menegaskan, bahwa “Manten Waligoro” tersebut kini lebih bersifat simbolis dan tidak lagi dilaksanakan.
Bagi masyarakat Desa Sepande dan sekitarnya, Manten Waligoro pernah menjadi bagian dari identitas budaya yang mereka banggakan. Adat ini tidak hanya menjadi sarana untuk melestarikan sejarah, tetapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup. Utamanya bagi setiap pasangan yang menjalani prosesi tersebut. Meski, ritus tersebut sudah tidak pernah lagi dilakukan. (Hnf)