BUDURAN, SIDOARJONEWS.id – Proses penanganan darurat insiden ambruknya Musala Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, terus berlanjut hingga hari keenam, Sabtu (4/10/2025).
Fokus utama tim gabungan kini diarahkan pada pencarian dan pertolongan korban (Search and Rescue/SAR), proses identifikasi jenazah atau Disaster Victim Identification (DVI), serta pendampingan bagi keluarga korban yang menunggu kepastian nasib orang tercinta mereka.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, Ph.D., menyampaikan, bahwa penanganan darurat bencana ini dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya sebatas evakuasi korban. Ia menegaskan pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam proses DVI agar keluarga segera mendapatkan kepastian.
“Fokus utama kami saat ini adalah memastikan setiap korban dapat diidentifikasi dengan benar dan dikembalikan kepada keluarganya secara terhormat,” ujar Abdul Muhari dalam keterangan resminya, Sabtu, (04/10/2025).
Menurut BNPB, setiap jenazah yang berhasil dievakuasi langsung dibawa ke posko DVI. Di sana, tim medis dan kepolisian melakukan identifikasi melalui metode forensik untuk memastikan keakuratan data. Proses ini menjadi salah satu tahapan paling penting dalam penanganan darurat tragedi Al-Khoziny karena sebagian besar korban ditemukan dalam kondisi yang sulit dikenali akibat tertimpa material bangunan.
Melalui DVI, identitas korban dapat dipastikan secara sah berdasarkan standar ilmiah. Hal ini tidak hanya menjaga martabat korban, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi keluarga dalam proses administrasi, termasuk penerimaan santunan, pencatatan resmi, dan pengurusan hak-hak lainnya.
BNPB menjelaskan, metode DVI menggabungkan data antemortem (sebelum meninggal dunia), seperti catatan medis, sidik jari, ciri fisik, dan DNA keluarga, dengan data postmortem (semua hal yang terjadi atau dikumpulkan setelah meninggal dunia) yang diperoleh dari jenazah. Kombinasi kedua data tersebut memastikan bahwa identifikasi dilakukan secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, di lapangan, tim DVI menghadapi sejumlah kendala. Sebagian besar korban merupakan santri berusia anak-anak dan remaja yang belum memiliki kartu identitas resmi. Karena itu, proses identifikasi banyak bergantung pada data sekunder seperti ijazah, catatan sidik jari dari dokumen sekolah, hingga pakaian terakhir yang dikenakan korban.
Untuk mengatasi kendala tersebut, tim DVI bekerja sama dengan keluarga dalam pengumpulan data antemortem, seperti tanda lahir, kondisi gigi, bekas luka, hingga hasil rekam kesehatan. Jika diperlukan, pemeriksaan DNA dilakukan guna memastikan kecocokan identitas secara ilmiah.
Selain proses identifikasi, BNPB bersama Satgas Gabungan—yang melibatkan Basarnas, BPBD, TNI, Polri, Dinas Kesehatan, PMI, Dinas Sosial, Pemadam Kebakaran, serta Dinas PU-SDA—juga terus melanjutkan operasi SAR dan pendampingan psikososial untuk keluarga korban. Langkah ini bertujuan menjaga kondisi mental keluarga yang kehilangan anggota keluarganya dalam tragedi memilukan tersebut. (Ard)