KOTA, SIDOARJONEWS.id – Sejarah panjang Sidoarjo menyimpan banyak kisah perjuangan rakyat melawan kolonialisme. Salah satunya adalah pemberontakan Gedangan pada 27 Mei 1904, yang dipimpin oleh seorang ulama karismatik, Kassan Moekmin. Perlawanan ini lahir dari keresahan petani yang merasa ditindas oleh aturan ketat pemerintah Belanda.
Saat itu, Belanda memaksa petani menanam palawija seperti jagung dan ubi kayu, serta menggunakan weluku atau bajak model Hindu. Tidak hanya itu, harga sewa tanah untuk perkebunan tebu ditetapkan sepihak, sementara petani juga diwajibkan bekerja di pabrik gula ketika musim giling tiba. Ironisnya, kebutuhan pokok petani seperti pengairan justru dikelola secara buruk.
Situasi ini menimbulkan kemarahan rakyat, terutama para petani di kawasan Gedangan, Samentara, hingga Taman. Mereka kemudian berkumpul di rumah Kassan Moekmin, seorang pemimpin tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah yang pernah menimba ilmu di Kairo. Dari pertemuan yang awalnya membahas masalah keagamaan, lahirlah gagasan untuk melawan ketidakadilan penjajah.
Pada malam yang ditentukan, para pengikut Kassan Moekmin berwudhu terlebih dahulu sebelum berangkat melakukan perlawan. Mereka berkumpul di sebuah sawah dengan membentangkan bendera putih-biru-putih sebagai simbol perjuangan. Daun pisang kering atau klaras diselempangkan di tubuh mereka, sambil berdzikir untuk membakar semangat.
Meski hanya bersenjatakan dengan peralatan seadanya, sekitar 300 orang pemberontak maju dengan keberanian luar biasa. Mereka menari gaya pencak silat sambil menyerukan kalimat “La ilaha illallah”. Gerakan itu sempat membuat Wedana Gedangan dan aparat Belanda kewalahan, bahkan sempat tertawan ketika mencoba membubarkan massa.
Namun, perlawanan rakyat yang membara akhirnya berhadapan dengan kekuatan militer Belanda yang jauh lebih besar. Pasukan kolonial datang lengkap dengan senjata api. Bentrokan pun tak terhindarkan. Meski para pemberontak bertahan gagah berani, peluru panas tentara Belanda menewaskan puluhan orang di tempat.
Catatan sejarah menyebutkan, sebanyak 33 pemberontak gugur dan 37 lainnya terluka, termasuk Kiai Kassan Moekmin. Sang kiai yang terluka parah sempat melarikan diri ke rumahnya. Namun, tak lama kemudian, tentara Belanda mengepung kediamannya, membakarnya, dan membunuh sang pemimpin perlawanan.
Kematian Kassan Moekmin menjadi akhir dari pemberontakan Gedangan. Meski hanya berlangsung singkat, perlawanan itu mencatatkan jejak penting dalam sejarah Sidoarjo, bagaimana rakyat berani mengangkat senjata demi melawan penindasan kolonial.
Catatan berharga ini terdokumentasi dalam buku “Jejak Sidoarjo dari Jenggala ke Suriname”, yang merekam bagaimana perlawanan rakyat Gedangan menjadi bagian penting dari sejarah perjalanan Sidoarjo. (Hnf)