KOTA, SIDOARJONEWS.id – Persoalan akses jalan di kawasan perumahan kembali mencuat di Kabupaten Sidoarjo. Warga Desa Banjarbendo dan Desa Jati, Kecamatan Sidoarjo, melayangkan keluhan kepada DPRD Sidoarjo terkait penutupan akses jalan di Mutiara Regency yang dinilai memperparah kemacetan di jalur Desa Jati bagian selatan.
Kemacetan di kawasan itu bukan hal baru. Kondisi jalan yang sempit membuat kendaraan harus bergantian saat berpapasan. Akibatnya, arus lalu lintas sering tersendat, terutama pada jam sibuk pagi dan sore hari. Kondisi ini membuat warga sekitar resah karena aktivitas sehari-hari, termasuk bekerja dan sekolah, menjadi terhambat.
Keluhan tersebut disampaikan warga saat menghadiri pertemuan di gedung DPRD Sidoarjo pada Kamis (14/8/2025). Hadir dalam forum itu Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Warih Andono dan Suyarno, anggota Komisi C DPRD, serta sejumlah perwakilan dari dinas terkait seperti Dinas Perumahan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang, Dinas PUBMSDA, dan Dinas Perhubungan.
Dalam kesempatan itu, warga dari Perumahan Mutiara Harum dan Mutiara City menyuarakan aspirasi agar akses jalan yang selama ini tertutup dapat segera dibuka kembali. Menurut mereka, jalur alternatif melalui Mutiara Regency akan mampu mengurai kepadatan lalu lintas di Desa Jati.
Namun, usulan tersebut mendapat penolakan dari sebagian penghuni Mutiara Regency. Mereka berdalih, penutupan jalan dilakukan demi menjaga kenyamanan dan keamanan lingkungan. Meski demikian, alasan tersebut dipandang tidak relevan mengingat prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) di Mutiara Harum maupun Mutiara Regency telah resmi diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Sidoarjo sejak tahun 2017.
Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Warih Andono, menegaskan bahwa sejak PSU diserahkan kepada pemerintah, maka tanggung jawab pengelolaan jalan sudah sepenuhnya berada di tangan Pemkab. “Kalau sudah diserahkan, otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah. Maka demi mengurai kemacetan, jalan yang ditutup harus dibuka. Itu solusi paling logis,” ujarnya.
Lebih jauh, persoalan ini ternyata bukan hanya masalah sosial, melainkan juga berpotensi melanggar hukum. Hal itu ditegaskan Budi Santoso, kuasa hukum warga Mutiara City, yang turut hadir dalam pertemuan. Menurut Budi, penutupan jalan umum tanpa izin merupakan tindakan yang dapat dikenai sanksi pidana maupun perdata.
Ia merujuk pada ketentuan Pasal 192 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Dalam aturan tersebut, penutupan jalan umum tanpa dasar hukum yang sah dapat diancam pidana penjara hingga satu tahun. Ketentuan serupa juga diperkuat dalam Pasal 274 ayat (1) dan Pasal 279 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
“Ini bukan sekadar masalah warga tidak bisa lewat. Ada potensi pelanggaran hukum yang serius. Siapa pun yang menutup jalan umum tanpa izin, bisa dijerat pidana. Ancaman hukumannya jelas, maksimal satu tahun penjara,” tegas Budi.
Selain sanksi pidana, penutupan jalan juga berpotensi digugat secara perdata. Hal itu mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, wajib diganti. Dalam konteks ini, warga yang dirugikan karena terhambat aktivitasnya akibat penutupan jalan, berhak menuntut ganti rugi.
“Jadi ada dua aspek. Pertama pidana, kedua perdata. Kalau warga dirugikan, mereka bisa menggugat. Jadi jelas sekali, penutupan jalan umum tanpa izin ini punya konsekuensi hukum yang berat,” tambahnya.
Budi juga menekankan bahwa sebenarnya tiga perumahan yakni Mutiara Harum, Mutiara Regency, dan Mutiara City berada dalam satu siteplan. Artinya, secara perencanaan tata ruang, jalur tersebut memang dimaksudkan untuk menjadi penghubung antar kawasan. Dengan kata lain, membuka kembali akses jalan tidak hanya bermanfaat bagi penghuni Mutiara City, tetapi juga bagi masyarakat luas.
“Kalau akses ini dibuka, semua pihak akan diuntungkan. Warga Mutiara Harum, Mutiara City, dan Mutiara Regency akan mendapat kenyamanan bersama. Selain itu, masyarakat Desa Banjarbendo dan Desa Jati juga merasakan dampaknya. Kemacetan bisa terurai, lalu lintas jadi lebih lancar,” ungkapnya.
Terkait kehadiran perwakilan warga di DPRD, Budi menegaskan bahwa kedatangan mereka bukan untuk memprovokasi, melainkan murni atas undangan resmi dewan. “Kami ke sini bukan untuk mengompori siapa pun. Kehadiran kami murni karena ada undangan resmi dari DPRD. Jadi kalau ada pihak yang menuduh macam-macam, itu tidak benar,” pungkasnya.
Polemik ini menunjukkan bahwa persoalan infrastruktur jalan bukan sekadar masalah teknis, melainkan juga menyangkut aspek hukum, tata kelola, dan kepentingan masyarakat banyak. Jika penutupan akses jalan dibiarkan, potensi konflik antarwarga bisa semakin besar. Di sisi lain, keberanian Pemkab Sidoarjo dalam menegakkan aturan akan menjadi ujian penting, apakah kepentingan umum benar-benar ditempatkan di atas kepentingan kelompok tertentu.
Kini, masyarakat menanti langkah konkret dari pemerintah daerah. Apakah akses jalan akan segera dibuka demi kepentingan bersama, atau justru dibiarkan tertutup dengan dalih kenyamanan segelintir pihak. Satu hal yang pasti, kemacetan di Desa Jati bagian selatan tidak akan terselesaikan tanpa keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada masyarakat luas. (Ard)