KOTA, SIDOARJONEWS.id — Pandemi Covid-19 rupanya menjadi ‘berkah’ tersendiri bagi pelaku usaha di sektor tanaman hias. Betapa tidak, beberapa tanaman hias seperti tanaman Monstera “Janda Bolong”, Aglaonema, Kuping Gajah, Kadaka, dan masih banyak lagi yang sedang viral, harganya kini melangit. Dari ratusan ribu, jutaan, bahkan hingga puluhan juta.
Melihat fenomena daya tarik masyarakat ini, mungkinkah tanaman hias ‘Janda Bolong’ mampu bertahan lama?
Pemerhati Gaya Hidup dan Belanja Masyarakat Modern, Heri Cahyo Bagus Setiawan mengungkapkan, situasi pandemi Covid-19 memang mengharuskan masyarakat beraktivitas di rumah. Salah satunya, bercocok tanam.
Bagi pelaku usaha (penyedia tanaman hias), situasi itu menjadi peluang bisnis yang menjanjikan di saat naiknya tren daya minat masyarakat terhadap tanaman hias tersebut.
“Tanaman ini banyak digemari sebagai penghias rumah dan menjadi bahan cerita kepada sesama penggemar tanaman hias lainnya,” ungkap Heri Bagus, Sabtu (24/10).
Beberapa tanaman hias yang meroket harganya diantaranya tanaman “monstera” atau Janda Bolong, Sri Rejeki alias Aglaonema, dan masih banyak lagi yang lainnya. Di Sidoarjo sendiri, harganya bahkan bisa sampai puluhan juta.
“Viralnya sebuah tanaman hias ini adalah soal tren. Karena mencuatnya secara tiba-tiba. Dan biasanya yang datangnya secara tiba-tiba ini tidak akan bertahan lama,” ujarnya.
Heri menceritakan, pengalaman di tahun 2007 lalu, juga sempat viral tanaman Gelombang Cinta. Jika ditarik pada sejarah fenomena klasik “Bunga Tulip” atau disebut “The Tulip Mania” pada tahun 1636-1637 an, menjadi salah satu komoditas yang bisa diimpor dari Turki ke Belanda.
“Bunga tersebut juga sempat menjadi tren di Belanda sebagai hiasan busana yang juga tidak berjalan lama. Karena para pelaku pasar bunga tulip mulai menjual bunga tersebut ke pasar-pasar dan diikuti oleh pelaku reseller lainnya. Dalam waktu yang singkat, bunga tulip anjlok,” ceritanya.
Dia menyebut kondisi seperti ini dalam dunia akademik biasa disebut gelembung ekonomi. Contoh lainnya fenomena batu akik yang juga tak berlangsung lama. Batu Akik memang sempat mencuat beberapa tahun terakhir. Bahkan para pedagang batu akik tak segan-segan membandrol dengan harga yang cukup tinggi.
“Sebuah harga yang tidak umum sebelum ada tren Batu Akik. Setelah habis masa tren-nya menjadi biasa-biasa saja. Bahkan perlahan meredup dan tenggelam,” tambah Peneliti Ilmu Manajemen Bisnis yang sedang Studi Doktor Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Airlangga Surabaya ini.
Lonjakan harga tersebut, menurutnya, selain berlatarbelakang gaya hidup, juga rawan dengan praktik-praktik permainan harga. Sebab, minimnya suplai yang dibarengi dengan hasrat masyarakat yang cukup tinggi, sehingga menjadikan irrasional.
“Sesuatu yang datangnya secara tiba-tiba biasanya tidak lama, hanya sebatas tren. Layaknya dunia fashion. Setiap tahunnya selalu ada tren baru,” tegasnya.
Dia menyarankan kepada pelaku bisnis agar tetap relevan dalam menyikapi fenomena. Pelaku bisnis diharuskan bisa memunculkan unik distinctive (keunikan-keunikan yang khas) tanaman lain selain Janda Bolong untuk mengantisipasi tren semata.
Di samping itu, masyarakat juga harus bijak dalam berbelanja. Terlebih dalam situasi sulit akibat pandemi covid-19 ini. Masyarakat harus mampu mengalokasikan belanja berbasis skala prioritas (kebutuhan sehari-hari). Jangan sampai terjebak dengan situasi yang dapat merugikan finansial, dan bahkan menyesal karena sudah mengikuti alur tren semata. (Syaikhul Hadi)