SIDOARJONEWS.id — Infus (terapi intravena) merupakan tindak memasukkan cairan atau obat melalui pembuluh darah untuk pengobatan yang lebih cepat atau pelan-pelan akan tetapi konstan. Karena jika melewati jalur pembuluh darah, obat atau cairan akan segera cepat diserap oleh tubuh. Hal ini berbeda dengan ketika melalui pencernaan, karena harus diurai oleh pencernaan terlebih dahulu sebelum disebarkan ke seluruh tubuh.
Problematika infus bagi orang yang berpuasa terdapat dua hal yang saling kontradiktif. Pertama, adalah status pembatalan sebab memasukkan cairan yang mampu untuk membugarkan kondisi tubuh seseorang meskipun tanpa makan dan minum.
Kedua, adalah jika dianggap batal pada kenyataannya cairan itu dimasukkan tidak dari lubang tubuh yang ditentukan.
Dua argumentasi kontradiktif itu sebenarnya dapat dianalisis menurut arahan para pakar fiqih Islam. Dan, penulis pribadi, sebenarnya lebih subjektif untuk menyikapi kebatalan tindakan ini dengan beberapa pertimbangan. Yakni mengesampingkan argumentasi pakar yang mengatakan tidak batal sebab masuk dari selain jalur rongga tubuh (manfadz).
Pertimbangan pertama, menurut teks klasik disebutkan, bahwa jika seseorang melukai tubuhnya dengan benda tajam yang menancap ke perutnya maka membatalkan puasa, sebagaimana berikut:
لَوْ طَعَنَ نَفْسَهُ أَوْ طَعَنَهُ غَيْرُهُ بِإِذْنِهِ فَوَصَلَتْ السِّكِّيْنُ جَوْفَهُ اَفْطَرَ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا سَوَاءٌ كَانَ بَعْضُ السِّكِّيْنَ خَارِجًا اَمْ لَا
Artinya: “jika dia melukai dirinya sendiri atau dilukai orang lain dengan seizinnya dan pisaunya sampai keperut maka puasanya batal tanpa khilaf menurut kami, meskipun sebagian piasu masih belum menancap sepenuhnya”. (Yahya al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, [Beirut: Darul Fikr, 2021], juz VI, hal. 322.).
Teks klasik al-Nawawi itu membuka ruang untuk batalnya praktek intravena, sebab di era al-Nawawi, mungkin masih belum mengenal terapi pengobatan seperti ini. Sehingga, standarisasi batalnya puasa adalah jalur makanan atau obat-obatan yang bermuara kepada pencernaan meskipun dengan melukai bagian perut dan memasukkan makanan atau obat dari luka itu.
Mengingat praktek terapi intravena lebih efektif untuk menyalurkan obat ke seluruh tubuh daripada melewati pencernaan, bahkan bisa membuat seseorang masih hidup meskipun tidak makan dan minum dengan memasukkan cairan dari selain jalur rongga tubuh.
Pertimbangan kedua, menurut teks modern, seperti Muhammad al-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut al-Nafis menyebutkan, bahwa problematika praktek intravena bisa diklaim batal atas dasar penyamaan dengan teks al-Nawawi di atas. Al-Syathiri menyebutkan
فَالْإِبْرَةُ اَلْمَغْدِيَّةُ تُفْطِرُ بِالْإِجْمَاعِ, وَغَيْرُ الْمَغْدِيَّةِ اِخْتَلَفُوْا فِيْهَا
Artinya: “suntikan yang berisi suplemen bisa membatalkan menurut kesepakatan ulama, dan selain yang berisi suplemen masih diperdebatkan”. (Muhammad al-Syathiri, Syarh Yaqut al-Nafis, [Beirut: Darul Minhaj, 2011], hal.308.).
Perdebatan itu diperjelas oleh Hasan al-Kaf dalam Taqrirat al-Sadidah sebagai berikut:
وَاِذَا كَانَتْ غَيْرَ مَغْذِيَّةٍ فَنَنْظُرُ : اِذَا كَانَ فِي العُرُوْقِ اَلْمُجَوَّفَةِ-وَهِيَ اَلْأَوْرِدَةُ- فَتَبْطُلُ، وَاِذَا كَانَ فِيْ العَضَلِ – وَهِيَ العُرُوْقُ غَيْرُ الْمُجَوَّفَةِ – فَلَا تَبْطُلُ
Artinya: “jika tidak berisi suplemen maka kami perinci, jika masuk dari jalur pembuluh darah maka batal, dan jika dari otot atau urat maka tidak batal”. (Hasan al-Kaf, al-Taqrirat al-Sadidah, [Tarim: Darul Ilmi wad Da’wah, 2003]. Hal. 452.).
Atas dasar objektifitas, penulis juga harus memaparkan argumentasi pendapat yang tidak membatalkan. Untuk yang mengatakan tidak membatalkan tentunya sebagaimana banyak dikupas oleh para pakar fiqih bahwa praktek terapi intravena tidak melalui jalur rongga tubuh sehingga tidak dianggap tindakan yang membatalkan puasa, meskipun berefek kepada kebugaran tubuh sebab cairan yang dimasukkan kedalam pembuluh darah.
Teks modern yang mendukung argumentasi tidak membatalkan juga terbilang banyak, bahkan Darul Ifta’ al-Mishriyah melalui mufti Dr. Syauqi Ibrahim Allam No. 8050. Tanggal 10 Oktober 2023 memperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk diinfus dengan glukosa dan puasanya masih sah.
Fatwa itu berdasarkan fatwa sebelumnya tentang suntik/injeksi cairan atau obat-obatan untuk kepentingan pengobatan, pemulihan ciaran tubuh, dan untuk anastesi baik melalui jalur urat nadi atau pembuluh darah dengan mufti yang sama nomor fatwa 3268 tanggal 12 Maret 2013.
Alasannya cukup jelas dan sesuai dengan eksplisitas teks klasik yakni sesuatu yang masuk bisa membatalkan harus melewati rongga tubuh yang terbuka pada umumnya, dan praktek intravena menurutnya tidak sama sekali mengarah kepada rongga tubuh dan andaikan melewatinya masuknya saja tidak melalui jalur yang biasa disebutkan, apabila masuk dan meresap kedalam tubuh melalui pori-pori maka tidak membatalkan puasa. Wallahu A’lam Bisshawab. (***/Ipung)