WARU, SIDOARJONEWS.id — Pandemi Covid-19 memaksa kita untuk membatasi ruang gerak di berbagai aspek. Banyak kebijakan, rutinitas, dan kegiatan yang harus menyesuaikan di masa pandemi. Termasuk di dunia pendidikan.
Kebijakan pemerintah, proses pembelajaran dilakukan melalui daring. Ini hal baru bagi siswa. Juga bagi guru. Nuansa mengajar secara tatap muka, jelas berbeda dengan mengajar di sekolah. Apalagi bagi guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang anak didiknya belum ‘melek belajar daring’.
Nuansa itulah yang dirasakan Evrillia Hardianti (30 tahun). Sudah hampir sembilan bulan, guru PAUD di Sidoarjo ini harus merombak dan membiasakan diri mengajar anak didiknya lewat daring.
Evrilla mengaku lebih berat mengajar di masa-masa pandemi Covid-19 ketimbang biasanya. Selain rugi waktu, tenaga, dan materi, efektifitas belajar para siswa juga kurang terjamin.
“Memang, kondisi seperti ini tidak disangka sebelumnya. Mengajar dengan cara tatap muka maupun dengan cara virtual tentunya sangat berbeda jauh,” ungkap Evril, sapaan akrabnya, tengah pekan kemarin.
Menurutnya, memadukan belajar dengan teknologi, mungkin akan terasa mudah bagi anak didik yang jenjang pendidikannya sudah tinggi. Namun, pola pengajaran pada siswa paling dasar, terasa sangat sulit. Siswa hanya mengandalkan penglihatan dan pendengaran melalui smartphone. Itu tidak bisa menggantikan efektivitas pembelajaran tatap muka langsung.
“Mungkin kalau siswa setingkat SMP sampai mahasiswa, mereka sudah memahami apa yang harus dilakukan saat pembelajaran daring. Nah, bagaimana dengan mereka yang masih setingkat PAUD sampai Sekolah Dasar?, Apakah mereka bakal benar-benar memahami?,” tanya guru lulusan Universitas Islam Negeri Surabaya tersebut.
Selama ini, para guru diwajibkan memberikan pembelajaran secara daring sekali setiap harinya. Namun, Evril meluangkan waktu dua kali dalam sehari untuk melakukan pembelajaran secara daring. Mengingat, siswa di usia dini, masih sulit terkontrol saat dimulainya pembelajaran.
“Ya namanya anak-anak masih kecil kan, kadang minta ini dan itu. Kadang merengek ke orang tuanya, sehingga pembelajaran harus diulang kembali pada malam harinya,” ceritanya.
Ia membandingkan ketika masih dilakukan pembelajaran tatap muka. Para siswa yang berkumpul di satu kelas, akan mudah dikontrol. Pembelajaran yang disampaikan pun lebih mudah dipahami. Sehingga para siswa akan lebih banyak mendengarkan instruksi yang diberikan gurunya.
Tak hanya cara mengajar, pandemi juga berdampak pada honor para guru. Honor mereka berkurang. Bagaimana tidak, honor guru swasta yang diambilkan dari pembayaran SPP siswa, harus dipotong. Pasalnya, sejumlah wali murid meminta keringanan pembayaran SPP.
Wali murid merasa anak-anaknya tidak mendapatkan fasilitas seperti biasanya saat pembelajaran tatap muka. Semisal ruang kelas, tempat bermain, maupun fasilitas AC.
“Jadi, ada (orang tua) yang meminta dipotong pembayaran SPP. Nah, kalau SPP dipotong otomatis pendapatan sekolah berkurang sehingga itu berdampak pada gaji guru,” ujarnya.
Toh, situasi itu tidak membuat Evril kehilangan semangat untuk mengajar anak didiknya. Namun, dia berharap situasi bisa kembali seperti sediakala. Utamanya di wilayah Sidoarjo.
Di akhir tahun ini, Evril berharap pandemi Covid-19 bisa segera berakhir. Dia merindu bisa mengajar di sekolah berjalan lancar seperti dulu. Dia rindu suasana mengajar tatap muka. Dan tentu saja, dia juga berharap gaji para guru bisa kembali normal. Seperti sebelum virus mewabah. (Syaikhul Hadi)