Oleh: dr Suga Marthawati, Dokter Umum Puskesmas Sidoarjo Kota
Dewasa ini, kanker merupakan salah satu penyebab kematian yang terbesar. Masalah ini tidak hanya dialami oleh negara maju saja, tetapi juga negara yang berkembang, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, angka kanker payudara dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Peningkatan ini disertai dengan peningkatan angka kematian. Tren angka ini berbeda dengan negara yang sudah berkembang di mana peningkatan angka kematian relatif bisa ditekan.
Dalam penelitian lebih lanjut, kondisi ini ditengarai karena tingkat kesadaran masyarakat negara maju yang sudah mulai bagus tentang deteksi dini penyakit ini.
Dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah mulai mencanangkan deteksi dini payudara. Antara lain mulai dari sosialisasi program SADARI (Periksa Payudara Sendiri). Yakni enam langkah yang dapat dilakukan setiap wanita untuk memeriksa payudara sendiri yang bisa dilakukan setiap bulan setelah menstruasi.
Namun, program ini melalui riset Kemenkes melalui Penyakit Tidak Menular (PTM) 2016 diketahui masih rendah, yaitu sebesar 53,6 % masyarakat belum melakukan SADARI.
Di sisi lain, deteksi dini dengan penggunaan modalitas pencitraan radiologi, menunjukkan hasil yang lebih baik. Alat pencitraan yang sering digunakan untuk deteksi dini adalah mamografi.
Mamografi adalah salah satu penunjang diagnosis yang dapat diunggulkan dalam diagnosis dini keganasan payudara. Alat ini menggunakan sinar x ray dengan pengion atau dosis rendah. Alat ini mampu menemukan tumor yang terlalu kecil dirasakan jika menggunakan metode SADARI ( Periksa Payudara Sendiri).
Mamografi dilakukan kompresi pada payudara menjadi datar sehingga payudara memipih, dengan menggunakan minimal dua posisi. Jika dari pemeriksaan mamografi menunjukkan hasil yang abnormal dan mengarah ke keganasan, diperlukan diagnosis pasti. Yaitu dengan melanjutkan pemeriksaan menggunakan biopsy.
Pemeriksaan menggunakan mamografi dikatakan memiliki sensitifitas 70-80% dan spesifitas 80-90%. Namun, alat mamografi ini lebih efektif digunakan untuk wanita yang sudah menginjak usia 40 tahun, saat payudara sudah mulai banyak terisi lemak dibanding kelenjar.
Jika untuk usia muda, skrining dapat dilakukan menggunakan USG. Studi retrospektif yang dilakukan oleh Engel et all, menyatakan bahwa ada peningkatan angka 2-3 lipat angka kematian pada wanita yang tidak melakukan skrining mamografi pada interval 5 tahun.
Skrining ini hendaknya dilakukan pada usia 40 – 74 setiap dua tahun. Kecuali pada wanita dengan risiko tinggi, dapat dilakukan setiap tahun.
Indikasi lain yang dilakukan pemeriksaan mamografi selain skrining rutin adalah rasa tidak nyaman pada payudara, riwayat risiko tinggi, menderita cancer pobhia, dan pembesaran kelenjar getah bening di sekitar ketiak.
Diharapkan, dengan adanya kesadaran masyarakat yang baik untuk deteksi dini pada payudara, baik dilakukan dengan mandiri melalui SADARI maupun melalui bantuan pencitraan x-ray yaitu mamografi, diagnosis secara tepat dan dini dapat dilakukan.
Sebab, penelitian lebih lanjut menunjukkan, jika segera ditemukan dan diterapi dengan baik, akan menunjukkan peningkatan angka harapan hidup pada keganasan ini. (*)