SIDOARJONEWS.id – Pedagang Kaki Lima atau PKL bukanlah bidang pekerjaan yang baru di Indonesia. Muncul sejak era Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816) di Batavia (kini Jakarta), PKL tetap lestari hingga kini. Bahkan keberadaannya kerap dianggap sebagai masalah perkotaan.
Merujuk pada sejarahnya, di era abad 19 tersebut, Raffles memerintahkan agar disediakan trotoar untuk pejalan kaki selebar lima kaki di jalanan utama Batavia. Setelah dibuat, rupanya trotoar itu justru dimanfaatkan oleh para pedagang. Sejak saat itulah muncul istilah pedagang kaki lima di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Sidoarjo.
Di kabupaten berjuluk kota Delta ini, Pedagang Kaki Lima juga punya banyak cerita. Salah satunya, problem penataan yang bagi sebagian orang menjadi keluhan.
Menurut pengacara muda asal Sidoarjo, Afrizal F Kaplale, PKL di Sidoarjo dimulai dari mereka yang berdagang di Alun-alun Sidoarjo. Kemudian jumlahnya semakin banyak di berbagai titik. Para PKL di Alun-alun Sidoarjo itu, antara 2010 hingga 2011, direlokasi ke GOR Sidoarjo. Kemudian, perlahan-lahan sebagian mereka berpindah ke kawasan Gading Fajar dan Taman Pinang. Kehadiran mereka di sana, menimbulkan pro dan kontra.
Bicara tentang penataan PKL di Sidoarjo ini, menurut Afrizal, kawasan Gading Fajar dan Taman Pinang sejatinya bukanlah tempat berdagang. Karena merujuk pada UU Lalu Lintas Angkutan Jalan maupun UU tentang Jalan, tidak ada pasal yang menyebutkan bahwa sesorang diizinkan berdagang di area jalan.
“Tentunya menimbulkan dampak, misalnya sampah dan kemacetan,” kata Afrizal dalam program Ngopi Sidoarjo yang digelar Sidoarjonews.id bersama Instagram @Sidoarjo.id.
Dari aspek hukum, lanjut Afrizal, masyarakat yang merasa dirugikan oleh keberadaan para PKL bisa menempuh jalur-jalur yang tidak bertentangn dengan hukum. Pertama, kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dapat menggalang petisi.
“Dalam petisi, dicantumkan identitas yang jelas dan alasan mengapa penolakan terhadap PKL terjadi,” sambungnya.
Nantinya, selain bisa dipakai sebagai bukti formil, petisi ini bisa dijadikan bukti bahwa ada warga yang menolak.
Selanjutnya, warga yang keberatan juga bisa meminta digelarnya hearing atau rapat dengar pendapat bersama DPRD Kabupaten Sidoarjo. Bila proses tersebut tak memberikan hasil, masyarakat bisa menempuh langkah lain. Misalnya mengajukan gugatan pembatalan perda apabila memang ada perda yang menjadi pijakan bagi PKL untuk beroperasi di lokasi tersebut.
Namun apabila kemudian bisa dibuktikan ada dampak atau kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan PKL, menurut Afrizal warga bisa mengajukan gugatan class action terhadap Pemkab Sidoarjo.
“Dalam proses itu, masyarakat harus bisa membuktikan kerugiannya apa dan kesalahan pemerintah apa. Dalam hal ini mungkin kesalahan yang bisa diangkat adalah dugaan pembiaran keberadaan PKL di lokasi tersebut,” ujarnya.
Lebih jauh, dari perspektif PKL yang memang membutuhkan lokasi strategis untuk berdagang, Afrizal menyebut bahwa pada dasarnya PKL juga memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan seperti diatur dalam pasal 27 UUD 1945. Karena itu, hak-hak mereka pun harus mendapat perlindungan.
“Dalam pasal 27 UUD 1945, semua orang berhak mendapat pekerjaan dan mencapai kehidupan yang layak. Cuma peran aktif pemerintah di sini harus bisa menjadi jembatan. ketika bicara pengelolaan PKL yang berhasil, banyak daerah yang berhasil,” tuturnya.
“Permasalahannya bukan soal relokasi saja. Di Sidoarjo misalnya, di jl Gajahmada sudah dilakukan. CUma kalau bicara aspek bisnis, di sini tidak hanya da pedagang, tapi juga harus ada pembeli. Ketika PKL direlokasi, maka tempat ini harus dipromosikan,” pungkasnya. (hut)