KOTA, SIDOARJONEWS.id — Bau wangi dupa yang menyerbak dari dalam ruangan menyambut tim Sidoarjonews saat berkunjung di Klenteng Tjong Hok Kiong, Sabtu (26/2).
Salah satu klenteng tertua di Sidoarjo yang terletak di Jalan Hang Tuah, Kecamatan Sidoarjo ini, sampai sekarang masih sering dikunjungi oleh umat untuk melakukan peribadatan.
Menarik ke belakang, pada abad ke-18, para pedagang Tionghoa berlayar ke Sidoarjo hanya berbekal kitab San Ji Zing (三字經). Buku yang sudah ada dari ratusan tahun, berisi tentang ajaran budi luhur pekerti budaya kuno Tionghoa.
Dalam bahasa Tionghoa “Jing” berarti ayat suci yang selalu benar. Pada zaman kuno, sebuah buku yang disebut sebagai “Jing” berarti menggambarkan sebuah karya yang bernilai tinggi. Begitupula Klenteng Tjong Hok Kiong ini.
Pendiriannya merupakan sebuah petunjuk dari leluhur sesuai kitab Ji Zing yang dibawa para pedagang tersebut sebagai pedoman. Kitab itu berbunyi, “jika mereka sudah melihat gunung besar, maka hal itu sudah mulai dekat”.
Gunung yang dimaksudkan dalam kitab tersebut ialah Gunung Penanggungan yang terletak di perbatasan dua kabupaten. Yakni Mojokerto—sisi barat dan Pasuruan—sisi timur. Sedangkan dari Sidoarjo sendiri hanya berjarak 27.3 km.
Maka dari itu, sebab alasan utama para pedagang ini berlabuh di Sidoarjo. Tepat pada tahun 1863, mereka mendirikan klenteng Tjong Hok Kiong sebagai tempat peribadatan. Hal ini juga tersemasuk sebagai ucapan terima kasih kepada para dewa-dewa yang sudah memberikannya petunjuk lewat leluhur serta keselamatan.
Dalam penelusuran ini, tim Sidoarjonews tak sendirian. Ditemani oleh Danny. Salah satu penggurus klenteng. Dia menceritakan beberapa hal mengenai leluhurnya, sembari berkeliling di tempat peribadatan ini.
Begitu memasuki halaman rumah besar dengan dominasi cat berwarna kuning dan merah khas Tionghoa tersebut, sepasang patung singa seperti menyambut setiap tamu yang datang.
Penempatan patung tersebut, sesuai ajaran Tionghoa, atau Feng Shui, dapat memberikan energi kebaikan, serta dapat mempengaruhi suasana hati. Sedangkan karakter berbentuk binatang itu juga sering kali dipergunakan sebagai lambang status.
Pada awal pendirian, Klenteng Tjong Hok Kiong ini masih menganut bangunan dari Dinasti Qing. Hal ini terlihat dari beberapa ukiran-ukiran bangunan yang masih tersisa.
Tjong Hok Kiong masih menganut ajaran Tridharma dalam dialek Hokkian, berarti dalam harfiah adalah tiga ajaran agama. Yakni Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme.
Hal ini terbukti, pada saat memasuki dalam ruangan. Ada tiga tempat dibagi untuk persembahyangan. Sedangkan untuk alter sembahyangan, ada sebanyak 15 alter di setiap titik pemujaan.
Namun, menariknya, letak dari klenteng ini berdiri berada di antara pemukiman warga yang mayoritas adalah muslim. Namun toleransi beragama yang dipegang dalam masyarakat sangat tinggi. Maka warga Tionghoa dari seluruh Sidoarjo maupun Jawa Timur yang datang, dapat melaksanakan sembahyang secara tenang. Seringkali, klenteng ini juga dibuat sosialisasi oleh warga sekitar.
“Ini tempat umat. Jadi bebas siapa saja. Tidak ada batasan apapun,” ucap Danny.
Lewat penuturan Danny, klenteng ini sudah pernah dipugar sebanyak tiga kali. Serta sering mengalami renovasi. Terakhir, saat empat tahun lalu. Membuat seisi dalam bangunan ini diubah total.
“Namun penataannya masih sama, hanya bangunan dalamnya yang berbeda,” ucapnya.
Berdirinya Klenteng Tjong Hok Kiong ini, juga sebagai penegas jika awal mula kedatangan warga Tionghoa di Sidoarjo banyak bermukim di wilayah Jalan Gajah Mada terbentang hingga kecamatan Porong. Hal tersebut juga terbukti dari banyaknya para pedagang di sekitar klenteng yang mayoritas berasal dari keturunan orang Tionghoa.
Jika beberapa klenteng mempunyai garis keturunan atau silsilahnya, Tjong Hok Kiong justru malah sebaliknya. Ditanya mengenai asal muasal pendirian klenteng, Danny tidak bisa mengatakan pasti. Karena bukti pedoman yang sah secara tertulis tidak bisa ditemukan siapa orang pertama dibalik pembangunannya.
“Saya masih belum bisa mengatakan pastinya siapa. Karena belum ada sampai sekarang pedoman tertulis itu. Berbeda jika dengan klenteng tertua yang ada di Gudo sana. Itu runtut silsilahnya. Itu masih kita cari sampai sekarang,” tuturnya. (Selanjutnya…Ajaran Tridharma, Tiga Penganut Kepercayaan Dalam Satu Peribadatan (2))
[instagram-feed feed=1]