Oleh: Hadi Santoso
Ada yang menarik dalam perayaan HUT Partai Gerindra ke-12 di kantor DPP Partai Gerindra, Jakarta, Kamis (6/2/2012) lalu. Adalah Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto yang menjadi pusat perhatian.
Ketika menyampaikan pidato ulang tahun partai yang dibesarkannya sejak 2008 silam, Prabowo menyampaikan beberapa hal. Diantaranya perihal keputusannya bergabung ke pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan mengirimkan dua kader di Kabinet Indonesia Maju.
Kita tahu, Prabowo dan Jokowi merupakan rival dalam Pemilihan Presiden 2019 lalu.
Namun, yang menarik adalah pernyataan Prabowo ketika menyapa para awak media yang hadir meliput acara tersebut. Tahu ada banyak wartawan yang meliput, Prabowo lantas berujar bahwa saat ini dirinya dan pewarta sudah berteman. Dia menggunakan kata “friend”.
“Ada wartawan ya? Friend kita sekarang ya, friend,” kata Prabowo seperti dikutip dari www.cnnindonesia.com.
Sapaan Prabowo itu disambut tawa para kader Gerindra yang hadir. Saya pun seumpama ikut hadir meliput di acara tersebut, mungkin juga akan sulit terdiam. Saya mungkin akan bertepuk tangan.
Tetapi memang, pernyataan Prabowo yang menyebut dirinya dan wartawan sekarang friend itu menarik. Utamanya bila dikaitkan dengan apa yang terjadi di masa beberapa tahun lalu.
Sampean (Anda) mungkin masih belum lupa, dalam dua kali masa kontestasi pemilihan presiden, relasi Prabowo dan media sempat kurang mesra.
Dikutip dari CNN, beberapa sindiran yang dilontarkan Prabowo kepada media dan jurnalis itu terjadi sejak sebelum Pilpres 2014 hingga menjelang Pilpres 2019. Diantaranya, Prabowo pernah menyindir soal besaran gaji wartawan yang kecil, hingga menolak menjawab pertanyaan jurnalis dari media yang dinilainya berpihak.
Tapi, itu cerita dulu. Masa lalu. Bukankah setiap orang punya masa lalu?
Kini, Pak Prabowo sudah memperbaiki hubungannya dengan media. Apa yang terjadi di HUT Partai Gerindra ke-12 kemarin, menjadi momentum bagus untuk merajut kembali relasinya dengan media.
Momentum HPN 2020 dan “media adalah friend”
Pernyataan pak Prabowo bahwa media adalah friend itu menarik untuk diulas. Utamanya bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2020 yang acaranya dipusatkan di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Sabtu (8/2).
Bahwa, peringatan HPN seharusnya menjadi momentum untuk meneguhkan kembali posisi pers. Utamanya dalam kaitan relasi dengan pejabat selaku sumber berita. Begitu pula sebaliknya. Hubungan narasumber dengan awak media.
Menariknya, saat hadir dan memberikan sambutan di acara peringatan HPN 2020, Presiden Joko Widodo juga menyebut insan pers adalah temannya sehari-hari. Karenanya, Jokowi merasa harus hadir dalam setiap peringatan HPN.
Bahkan, seperti dikutip dari beritasatu.com, Jokowi seharusnya hari ini berangkat ke Canberra, Australia. Namun, memilih ‘belok dulu’ ke Banjarbaru demi insan pers.
“Mengapa saya harus hadir? Karena insan pers adalah teman saya sehari-hari. Kenapa seperti itu, karena ke mana pun saya pergi, yang selalu ikut bersama saya adalah para wartawan, menteri kadang-kadang enggak, tetapi wartawan selalu ikut,” terang Jokowi seperti dikutip dari www.beritasatu.com.
Dalam kesempatan tersebut, presiden bersama beberapa menteri dan insan pers, melakukan penanaman pohon di taman hutan hujan tropis Indonesia.
Memaknai wartawan sebagai kawan
Sebenarnya, apa makna ungkapan wartawan sebagai kawan? Baik seperti yang disampaikan Pak Prabowo di acara HUT Partai Gerindra, kemudian juga disampaikan pak Jokowi di acara HPN 2020.
Dalam Kamus Bahasa Besar Indonesia (KBBI), kata kawan dimaknai sebagai orang yang sudah lama dikenal dan sering berhubungan dalam hal tertentu. Semisal dalam bermain, belajar, bekerja, dan sebagainya.
Narasumber dan wartawan pun begitu. Sering berhubungan. Sebab, keduanya sama-sama butuh. Insan pers butuh berita untuk ditampilkan/ditayangkan di medianya. Sementara narasumber butuh publikasi agar apa yang dilakukan atau disampaikan, bisa diketahui masyarakat.
Namun, dalam kaitan pers sebagai kawan dengan narasumber ini, saya ingin menambahkan maknanya. Bahwa, kawan itu bukan hanya yang sudah lama dikenal dan sering berhubungan. Bukan hanya karena sama-sama butuh.
Tapi, seorang kawan baik adalah mereka yang terbuka dengan pujian dan kritikan. Seorang kawan baik adalah mereka yang tidak hanya senang mengkritik. Namun, juga bersedia memuji kawannya bila memang pantas dipuji. Sebaliknya, kawan yang baik tidak hanya pandai memuji, tapi juga berani mengkritik.
Mengapa tidak hanya bisa memuji?
Karena awak media itu bukan humas yang ranah kerjanya memang lebih banyak menonjolkan framing sisi bagus. Bila awak media hanya bisa memuji dan mengabaikan sisi yang masih perlu diperbaiki, apa bedanya dengan seorang penjilat.
Sebaliknya, seorang jurnalis juga tidak melulu harus mengkritik pemerintahan. Sebab, bila seperti itu, orang akan jadi hilang rasa terhadap kinerja bagus dan menganggap pencapaian bagus tidak penting untuk dikabarkan.
Katakanlah bila menilai kinerja pemerintahan di daerah. Apa iya sama sekali tidak ada hasil kinerja yang bagus yang bermanfaat untuk masyarakat sehingga berita yang ditampilkan di media selalu yang jelek.
Bila hanya melihat yang buruk dan abai terhadap pencapaian bagus, apa yang disampaikan mantan Perdana Menteri Inggris ketika saya masih SD dulu, Margaret Thatcher ada benarnya. Bahwa, bila seseorang tidak menyukai kita, bilapun kita bisa berjalan di atas sungai, orang akan mengabarkan kita tidak bisa berenang.
Karenanya, saya tidak sependapat bila ada media yang hanya menampilkan sisi buruk. Isi medianya hanya berisi kabar buruk tentang apa yang terjadi di suatu kota. Kata mereka, bad news is good news.
Bahwa kabar buruk itu malah berita bagus yang disukai oleh pembaca. Sementara kabar bagus itu justru berita buruk yang sepi pembaca. Benarkah? Kalaupun benar, saya rasa tidak semua pembaca suka.
Sebenarnya, bila ada media yang konsisten mengkritik sembari memunculkan solusi, itu bagus. Yang tidak bagus adalah bila terus-terusan mengkritik tanpa menyodorkan jalan keluar. Apalagi bila doyan mengkritik, semisal penggunaan APBD dalam pembangunan di daerah. Tapi malah paling senang meminta advertorial (iklan) yang sumbernya dari APBD.
Narasumber yang menjadi kawan bagi media
Itu dari sisi medianya. Dari sudut pandang media dalam berkawan dengan narasumbernya. Bagaimana dari sisi narasumber dalam kaitan sebagai teman dengan wartawan?
Bila memang menjadi friend, narasumber tentu bisa menjalin hubungan dan komunikasi yang bagus dengan awak media. Semisal berkenan meladeni sesi wawancara dengan media. Ataupun, mau meluangkan waktu untuk sekadar membalas pesan WhatsApp yang dikirimkan wartawan.
Bilapun dikritik oleh awak media, selama substansi kritikan itu tujuannya demi untuk perbaikan wilayah yang dipimpinnya, narasumber tidak seharusnya marah. Seharusnya, itu menjadi masukan untuk melakukan perbaikan.
Pendek kata, bila ketika dipuji senang luar biasa, ya jangan marah ketika sedang dikritik. Karenanya, seperti yang saya sampaikan di paragraf sebelumnya, kawan yang baik adalah mereka yang terbuka dengan pujian dan kritikan.
Memang, di lapangan, kita tidak bisa menutup mata. Bahwa, ada mereka yang mengaku bagian dari insan media yang malah berulah dan menjelekkan insan pers. Berulah semisal berlagak mewawancara tapi pada akhirnya meminta duit.
Saya pernah dicurhati pejabat yang mengaku takut bila bertemu awak media. Penyebabnya, dia pernah diwawancara plus ‘dipalak’. Celakanya, dia lantas menganggap semua awak media ya seperti itu. Padahal, dia hanya sedang apes bertemu orang yang salah. Karenanya, penting untuk memberitahu bahwa masih ada banyak insan pers yang bekerja dengan benar.
Pada akhirnya, semoga peringatan HPN 2020, tidak hanya menjadi momentum untuk merefleksikan kembali hubungan awak media dan narasumber yang bukan sebagai musuh. Tetapi sebagai friend. Kawan yang tidak hanya sering bertemu. Tapi kawan yang terbuka dalam kritikan dan pujian. Salam.