Is this the real life? Is this just fantasy?
Bagi penyuka band legendaris, Queen, pastinya sudah akrab dengan kalimat ini. Secara spontan, sampean (Anda) akan langsung berujar “ini kan kalimat pembuka lagu ini”.
Ya benar. Itu merupakan kalimat pembuka lagu legendaris Queen, Bohemian Rhapsody. Meski, bila mencari liriknya di kolom pencarian Google, tidak tertulis kalimat itu. Sebab, lirik awalnya diawali “Mama….”.
Pagi tadi, kalimat itu dipinjam oleh klub Italia, AC Milan untuk menggambarkan kemenangan luar biasa–untuk tidak menyebut sulit dipercaya–yang mereka raih atas Juventus pada pekan ke-31 Liga Italia.
Milan yang sempat tertinggal dua gol oleh Juventus di awal babak kedua oleh gol Adrian Rabiot dan Cristiano Ronaldo, ternyata mampu melakukan come back. Di 30 menit terakhir, Milan bereaksi.
Bayangkan, hanya dalam lima menit, Milan mampu membalik ketertinggalan dua gol itu. Diawali oleh penalti Zlatan Ibrahimovic di menit ke-62 usai Leonardo Bonucci dinyatakan hand ball.
Lalu Franck Kessie membelah pertahanan Juve di menit ke-66. Semenit kemudian, berawal dari dribble gagal Ronaldo, Rafael Leao melesat dari sisi kiri pertahanan Juve dan membalik skor 3-2 di menit ke-67.
Dan, ketika Ante Rebic mencetak gol keempat di menit 80 usai meneruskan sodoran Giacomo Bonaventura, akun Instagram resmi Milan langsung menulis narasi “Is this the real life? Is this just fantasy?” itu, sembari memajang foto selebrasi Rebic.
Ya, kemenangan 4-2 Milan atas Juventus itu seolah sulit dipercaya. Sampai-sampai, akun Instagram resmi Milan pun sampai memunculkan pertanyaan: apakah itu nyata atau hanya fantasi.
Pun, bagi Milanisti, rasanya tidak mudah untuk percaya bila mendapati kabar ini dan belum melihat langsung skor akhir pertandingannya. Saya pun sempat tidak percaya.
Apalagi, pagi tadi, sekitar pukul 04.00, ketika memantau pertandingan besar itu lewat live score, saya melihat Juventus sudah unggul 2-0 hingga menit ke-57.
Meski berharap AC Milan bisa membalik skor, tetapi saya juga mencoba berpikir rasional. Bahwa memang sulit menghadapi Juventus yang meraih empat kemenangan beruntun dan sedang semangat-semangatnya memburu gelar juara Liga Serie A Italia.
Apalagi, beberapa jam sebelumnya, Juve pasti tahu bila sang pesaing utama, Lazio, kalah 1-2 di markas Lecce. Bila mampu menang atas Milan, Scudetto akan semakin dekat. Karenanya, Juve sangat termotivasi di San Siro.
Ketika Ronaldo mencetak gol kedua , pemain-pemain Juventus yang merayakan gol itu, seolah sudah yakin bahwa mereka akan meraih kemenangan di San Siro.
Tapi, Milan rupanya belum menyerah. Semangat Milan untuk memenangi laga klasik ini ternyata lebih besar. Dan akhirnya, “hasil aneh” itulah yang terjadi di San Siro, Rabu (8/7/2020) dini hari tadi.
Milan berharap lolos ke Liga Champions, Pioli ingin pergi dengan kebanggaan
Milan, ketika banyak orang menyebut mereka klub yang kini hanya bisa mengagung-agungkan sejarah hebat di masa lalu, ternyata belum kehilangan identitasnya sebagai klub besar.
Padahal, di musim ini, penampilan Milan terbilang labil. Angin-anginan. Bayangkan, tim sekelas Milan, pernah dibantai Atalanta 5-0 pada 22 Desember 2019 lalu. Lalu, pada 9 Februari lalu, Milan juga kalah telak 2-4 dari Inter Milan di laga derby. Milan malah kalah dua kali dari Inter di musim ini. Belum lagi kekalahan dari tim ‘kecil’ seperti Torino dan Udinese.
Tapi memang, Milan memperlihatkan kebangkitan setelah Serie A musim 2019/20 dimulai kembali (restart) pada 26 Juni lalu. Milan seperti punya energi baru usai tiga bulan off berkompetisi akibat masa pandemi.
Di empat pertandingan terkini Serie A, Milan tidak terkalahkan. Mereka menang 4-1 di markas Lecce (23/6), menang 2-0 atas AS Roma (28/6). Lalu bermain 2-2 dengan SPAL (1/7) setelah tertinggal dua gol. Hingga kemenangan atas Juventus dini hari tadi.
Sayangnya, Milan harus merasakan dampak dari penampilan labil mereka sebelum masa pandemi lalu. Peluang mereka untuk lolos ke Liga Champions kini terbilang sangat kecil.
Pasalnya, jarak poin dengan Atalanta yang ada di peringkat 4, sudah terlanjur jauh dan sulit dikejar. Atalanta yang ada di peringkat 4, sudah mengumpulkan 63 poin dari 30 laga. Sementara Milan kini ada di peringkat 5 dengan 49 poin dari 31 pertandingan.
Kecuali bila Milan terus menang beruntun di 7 pertandingan tersisa. Sementara Atalanta yang tengah on form, mendadak banyak kehilangan poin. Termasuk AS Roma dan Napoli. Bila ceritanya begitu, Milan bisa lolos ke Liga Champions.
Memang ironis. Milan, tim Italia yang paling sukses di Liga Champions, tim pengoleksi 7 gelar Liga Champions, ternyata kini kesulitan untuk sekadar meraih tiket tampil ke Liga Champions musim depan. Mereka menunggu kabar kejatuhan tim lain. Tapi itulah yang terjadi sekarang.
Dan, situasi lebih ironis juga dirasakan pelatih Milan, Stefano Pioli. Nasibnya di Milan sudah ditentukan ketika kompetisi belum berakhir. Bilapun Milan dibawanya lolos ke Liga Champions, dia tidak akan melatih Milan di musim depan.
Sebab, manajemen Milan sudah sepakat untuk mempekerjakan pelatih senior asal Jerman, Ralf Rangnick (62 tahun) untuk musim 2020/21 nanti. Pioli bakal out di akhir musim.
Meski begitu, dilansir dari Football Italia, dalam wawancara dengan DAZN, Pioli tidak mau kehilangan harapan. Dia ingin membawa Milan finish di posisi terbaik yang bisa dicapai.
“Saat ini, saya tidak ingin membuang energi dengan memikirkan situasi yang belum pasti. Saya hanya berharap bisa mengakhiri musim dengan bagus. Apapun masih bisa terjadi,” ujar Pioli dikutip dari https://www.football-italia.net/155563/pioli-milan-present-whats-important.
Meski Juve kalah, tidak mengubah ‘skenario’ juara
Namun, bagaimanapun, kemenangan ini penting bagi Milan. Utamanya untuk menjaga ‘harga diri klub. Bahwa, Milan akhirnya berhasil membumikan Juventus yang terus melangit dalam beberapa musim terakhir.
Ya, di delapan musim terakhir, Milan memang kesulitan untuk sekadar mengimbangi Juventus. Faktanya, Juve terus melenggang menjadi juara. Sementara Milan, untuk sekadar finish di empat besar saja kesulitan.
Padahal, di masa lalu, pertemuan Milan dan Juve tidak mengenal kata superior dan inferior. Duel antara mereka adalah laga klasik yang berujung dengan skor ketat.
Salah satu duel klasik yang paling diingat adalah pertemuan Milan dan Juve di final Liga Champions 2003 di Manchester. Kala itu, laga berakhir 0-0 dan Milan jadi juara usai menang adu penalti 3-2.
Tapi itu dulu. Kini, Milan masih mencari jati dirinya. Milan seperti orang tersesat yang tengah mencari jalan pulang. Jalan untuk menemukan identitas dirinya sebagai klub besar yang pernah disegani. Tidak hanya di Italia. Tapi juga di Eropa. Bahkan di dunia.
Kini, Milan hanya bisa memberikan gangguan kecil pada Juventus. Ya, kemenangan 4-2 tersebut bisa jadi hanya sebuah gangguan kecil untuk Juventus dalam upaya memburu gelar.
Sebab, meski kalah, Juventus sepertinya tidak akan terbendung untuk menjadi juara Liga Italia musim 2019/20 ini. Di klasemen, Juve kini mengumpulkan 75 poin dari 31 pertandingan. Juve unggul 7 poin dari Lazio (68 poin) di peringkat 2 dengan jumlah laga sama.
Memang, dengan Serie A menyisakan 7 laga, kemungkinan apapun masih bisa terjadi. Tapi, setelah Lazio terlihat ‘sakit’ usai kalah beruntun di dua laga terakhir, rasanya sulit membayangkan Sang Elang bisa melewati Juve.
Ah, juara urusan nanti. Terpenting sekarang, mari berharap semoga laga sisa Serie A musim ini tidak kehilangan kejutan hingga akhir musim nanti. Kejutan seperti kemenangan Milan atas Juventus dini hari tadi. Salam. (hadi santoso)
Sumber : https://www.kompasiana.com/hadi.santoso/5f05271d097f367a0073c092/kala-ac-milan-membumikan-juventus-ini-nyata-atau-fantasi