SIDOARJONEWS.id — Sidoarjo punya seniman yang produktif dan inspiratif. Namanya Amdo Berada (59 tahun). Seniman penghuni pertama Kampung Seni Pondok Mutiara Sidoarjo ini menghasilkan karya lukisan setiap hari. Dia mendapat inspirasi melukis dari banyak hal.
Berbincang dengan Amdo Berada, seperti mengarungi lautan luas. Pengalaman melukis selama puluhan tahun mengantarkanya pada kematangan berkarya dan penemuan jati diri.
Ditemui di galeri lukis yang juga menjadi tempat tinggalnya di Kampung Seni CG / 9 Pondok Mutiara Sidoarjo, Amdo sedang menggoreskan akrilik di atas kanvas. Dia terlihat asyik menguatkan warna. Serta mempertegas garis-garis.
Seperti pelukis lain yang selalu mempunyai ciri khas pada setiap karyanya, demikian pula Amdo. Awalnya, dia memilih aliran dekoratif ekspresionis dengan gunungan sebagai ‘trade mark’ nya. Apapun tema lukisannya, gunungan berbentuk segitiga selalu terlihat di setiap karya Amdo. Meski kadang terlihat samar.
“Gunungan adalah simbol awal kehidupan,” ujar pelukis yang mulai berkarya pada tahun 1980 ini.
Salah satu karya Amdo yang sarat pesan terlihat pada lukisan berjudul ‘Jaran Kepang’. Amdo menjelaskan, aneka warna tegas beberapa jaran kepang pada lukisannya mewakili sifat manusia. Seperti Aluamah dengan gambaran warna hitam menyimbolkan hawa nafsu manusia. Supiah berwarna kuning menggambarkan kenikmatan pandang. Mutmainah berwarna putih menyiratkan kesucian.
“Manusia harus bisa menjadi pengendali hawa nafsu,” ungkapnya.
Amdo pelukis produktif. Dia bahkan pernah menyelesaikan 20 buah lukisan pesanan dalam semalam. Lukisan tercepat pernah dia selesaikan hanya dalam satu lagu. Saat mendengarkan lagu berjudul ‘Ayah’ milik Koes Plus, dia terkenang ayahnya yang telah meninggal. Maka, terciptalah lukisan dekoratif berjudul ‘ayah’.
Lukisan Amdo pernah terjual dengan cara yang unik. Saat berpameran di salah satu lapangan golf di Surabaya, lukisanya tertiup angin kencang dan roboh tepat di depan seorang warga Jepang. Tak disangka, orang Jepang itu langsung membeli lukisannya seharga 10 juta. Warga negara matahari terbit tersebut beranggapan lukisan Amdo menghormatinya.
Amdo melukis tidak bergantung mood. Di saat senang, dia melukis. Pun, di saat sedih, dia tetap melukis. Baginya, melukis ibarat bernafas. “Seperti ada yang hilang bila sehari tidak melukis” ujar lulusan ISI Jogjakarta ini.
Seperti zaman yang bergerak dinamis, Amdo juga tidak statis dalam berkarya. Kini, ia beralih pada aliran Etnik Dekoratif dengan memasukkan ‘cuilan-cuilan’ etnik Jawa agar sejarah dan budaya Jawa tetap terjaga. Baginya, itu upaya untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokal. “Saya terus berupaya ngemong tradisi'” tambahnya.
Pada pertengahan tahun 2020 mendatang, Amdo yang seringkali dipanggil “Kepala Suku” ini akan menggelar pameran tungal. Dia terus melakukan persiapan. “Masih menyiapkan materi lukisan,” ujarnya.
Bersama pelukis lain, Amdo terus berupaya agar Kampung Seni Sidoarjo semakin dikenal luas sebagai etalase seni, pusat pendidikan seni sekaligus pusat penjualan karya seni di Sidoarjo. Dia ingin terus berkarya. Seperti tawa renyahnya yang membuat siapa saja betah berlama-lama berbincang dengannya.(*/satria)