KOTA, SIDOARJONEWS.id – Sebanyak 25 guru di Sidoarjo ikuti pelatihan di Hotel Royal Trawas, Mojokerto. Pelatihan yang diadakan oleh Komunitas Brang Wetan ini terkait Pembuatan Konten dan Media Pembelajaran Berbasis Toleransi Bagi Guru Mata Pelajaran dan Guru Pembimbing Esktra Kurikuler.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Sidoarjo, Mustain Baladan menyampaikan, ada tiga hal yang bisa menjadi penyebab terjadinya intoleransi di lingkungan sekitar. Pertama ialah terkait perasaan yang selalu merasa benar dibanding lainnya.
“Itu yang pertama, kemudian yang kedua adalah pemahaman agama yang hanya sekadar tekstual saja. Lalu kurang memahami terkait sunnah rasul yang selalu mengidentikkan budaya Arab dengan ajaran Islam,” kata Mustain saat membuka pelatihan tersebut.
Mustain menambahkan, saat ini kondisi sosial masyarakat baginya sudah sangat mengkhawatirkan. Kebanyakan mereka yang sedang mengadakan kumpul-kumpul biasanya cenderung bakal melakukan sebuah aksi massa. Mirisnya, ungkapan kata takbir saat ini menjadi senjata untuk mendiskreditkan pihak lain yang dianggap berseberangan.
“Sudah terjadi pergeseran nilai yang menjurus ke arah intoleransi. Peran ulama atau pemuka agama sangat penting bagaimana menempatkan agama secara kontekstual. Contohlah seperti yang dilakukan KH Wahab Hasbullah sebelum era proklamasi,” katanya.
Mbah Wahab, sapaan KH Wahab Hasbullah, menurut Mustain, kini menjadi semacam lagu wajib bagi warga Nahdliyin. Ia juga mengungkap, dalam lagu itu tersirat makna negara harus diamankan dari hal-hal yang berbau intoleransi semacam ini.
Hal ini pun, dikatakan Mustain, selaras dengan pesan KH Said Aqil tentang agama tetap dinomor satukan tetapi budaya diutamakan. Tujuannya tentu adalah roda berwarga negara dengan baik bisa berjalan selaras. Tidak ada saling salah menyalahkan dan menjatuhkan.
Di sisi lain, Harmoni Senior Technical Advisor, Umelto Labetubun menambahkan, kegiatan ini bertujuan agar sekolah bisa menjadi magnet terkait toleransi. Oleh karenanya, butuh pembatasan terkait penggunaan kata-kata yang menimbulkan konotasi negatif atau rejection.
“Misalnya radikalisme, intoleransi, dan lain-lain. Pengalaman Harmoni bekerjasama dengan 93 sekolah di Sragen, menggunakan tema “membangun rasa percaya diri” karena kalau mereka sudah memiliki rasa percaya diri yang tinggi maka tidak gampang diajak nakal oleh kelompok manapun,” katanya.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua Komunitas Seni Budaya BrangWetan, Henri Nurcahyo, memaparkan bahwa persoalan toleransi bukan hal yang baru. Toleransi adalah suatu hal yang sudah kita ketahui sejak lama dalam keseharian namun kadang-kadang tidak disadari.
“Maka pelatihan soal toleransi bukanlah mengajarkan sesuatu yang sama sekali baru melainkan bagaimana memahami apa yang sudah kita ketahui untuk disadari, dan yang paling penting adalah eksekusi,” ujarnya. (*/Dimas)