PORONG, SIDOARJONEWS.id – Semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo telah berumur 14 tahun. Namun hingga kini, bencana non-alam tersebut masih menyisakan dampak. Setidaknya, terhadap kesehatan warga sekitar.
Rere Christanto, Direktur WALHI Jatim, mengatakan telah terjadi degradasi kondisi lingkungan di wilayah semburan lumpur Lapindo yang menyebabkan warga rentan terhadap penyakit.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan terhadap 30 warga di sekitar semburan lumpur Lapindo pada Maret 2020 lalu, ditemukan indikasi kuat buruknya kualitas air yang menjadikan warga rentan terhadap infeksi saluran kencing,” ujar Rere kepada Sidoarjonews.id, Jumat (29/5/2020).
Selain itu, berdasarkan pemantauan di 3 puskesmas sekitar semburan lumpur : Tanggulangin, Jabon, dan Porong, terungkap bahwa penyakit infeksi saluran pernafasan paling banyak dialami warga sekitar. Hal ini menempatkan mereka dalam posisi rentan, khususnya di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang.
Temuan tersebut diperkuat oleh hasil pemeriksaan kualitas air sungai dan irigasi yang dilakukan oleh pos Koordinasi dan Keselamatan Lumpur Lapindo di 9 titik pada Agustus 2019 silam. Dari pemeriksaan itu, dinyatakan telah terjadi pencemaran Timbal dan Kadmium yang kadarnya melebihi ambang baku kesehatan.
Penelitian WALHI Jatim sejak 2008 hingga 2016, menunjukkan tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2 ribu kali lipat di atas ambang batas normal. PAH ini adalah senyawa organic yang berbahaya dan bersifat karsinogenik (memicu kanker).
Sedangkan menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh hydrocarbon mencapai 8 ribu hingga 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.
Pada tahun 2016, penelitian logam berat yang dilakukan WALHI Jawa Timur menunjukkan level timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) pada air sungai Porong mencapai angka 10 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan di lingkungan.
Bukan hanya di air, level tinggi logam berat juga ditemukan dalam tubuh biota di sungai Porong yang dijadikan buangan untuk semburan lumpur Lapindo. Pada penelitian WALHI Jatim di tahun 2016, di dalam tubuh udang ditemukan kandungan Timbal (Pb) 40-60 kali diatas ambang batas yang diperbolehkan, dan kandungan Kadmium (Cd) 2-3 kali diatas ambang batas yang diperbolehkan
Kontaminasi logam berat juga terkonfirmasi ada dalam sumur warga di desa-desa sekitar semburan lumpur Lapindo. Pada pembacaan dari dua desa: Gempolsari di kecamatan Tanggulangin dan Glagaharum di Kecamatan Porong, ditemukan kandungan timbal (Pb) 2-3 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan, dan kandungan kadmium (Cd) hingga 2 kali di atas ambang batas yang diperbolehkan. Ini mengakibatkan air sumur di sekitar semburan lumpur Lapindo tidak bisa dipakai sebagai konsumsi untuk air minum warga.
Hasil pemantauan udara yang dilakukan juga menemukan gas Hidrogen Sulfida (H2S) dan Klorin (Cl2) pada udara di seputaran lumpur Lapindo. Pada pemeriksaan udara dengan menggunakan alat eco-checker di lima titik berbeda ditemukan bahwa level H2S hingga mencapai angka 85 ppb, sedangkan Cl2 hingga mencapai angka 5 ppb.
Jika memadukan temuan logam berat, gas dan PAH pada wilayah sekitar semburan lumpur Lapindo yang menunjukkan tingkat cemaran yang kuat, dapat diduga memberikan pengaruh terhadap kualitas kesehatan warga yang masih beraktivitas di sekitar semburan lumpur Lapindo.
Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Porong dan Jabon. Di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2005 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007.
Rere menyebut, dampak ekologis dan dampak kesehatan ini sejak awal seolah dikerdilkan hanya semata-mata soal tenggelamnya tanah dan bangunan.
“Pemerintah bersama PT Lapindo Brantas (Bakrie Group) menggiring penyelesaian permasalahan ini dengan pemberian kompensasi ganti rugi yang sebenarnya adalah proses jual-beli paksa lahan dan bangunan serta mengabaikan permasalahan mendasar, yakni hilangnya hak-hak warga akibat semburan Lumpur Lapindo. Mekanisme “jual-beli paksa” yang dianggap menyelesaikan permasalahan ini sejatinya hanyalah penenggelaman problem yang sesungguhnya bahwa bencana semburan Lumpur Lapindo adalah Bencana Industri,” tuturnya.
Melihat fakta tersebut, dalam peringatan 14 tahun semburan Lumpur Lapindo yang oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jatim dan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Nasional diperingati berbarengan dengan Hari Anti Tambang 2020, pemerintah dan semua pihak didesak untuk berhenti mempromosikan dan melindungi industri ekstraktif yang tidak berpihak terhadap keselamatan ruang hidup rakyat.
Dalam pernyataan sikap bersama itu, Ki Bagus Hadi Kusuma dari Jatam Nasional, menyebut bahwa upaya pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja dan Pengesahan Revisi UU Minerba di tengah pandemi covid-19, menunjukkan bagaimana pengurus Negara lebih mementingkan perlindungan bisnis ekstraktif ketimbang memastikan keselamatan rakyat.
“Revisi UU Minerba lebih banyak tentang kepentingan perluasan investasi dan pengusahaan pertambangan. Hal itu terlihat sejak aspek perencanaan yang tidak mempertimbangkan aspek kawasan rentan bencana sesuai dengan UU Kebencanaan. Aspek perencanaan ini bahkan tidak memiliki spirit membatasi perluasan atau laju ekspansi pertambangan. Juga bagi wilayah produksi rakyat, sebagai contoh ekspansi tambang pada kawasan produksi pangan maupun dengan infrastruktur ekologi penting seperti pulau-pulau kecil dan pesisir,” urainya.
Dia melanjutkan, RUU Minerba malah mempermudah perizinan dengan memperbolehkan pemegang IUP di satu provinsi untuk memiliki IUP dengan komoditas yang sama.
“Tidak ada aspek dalam RUU Minerba ini yang melindungi keselamatan rakyat, pembatasan ekspansi dan hak veto rakyat, sebaliknya RUU Minerba akan makin menguatkan Oligarki Tambang, melindungi korupsi dan memberangus dengan cara mengkriminalkan rakyat,” pungkasnya. (hut)